Rabu, 27 Juni 2012

Anak Bangsawan yang Berjiwa Merdeka

R.A. Kartini adalah putri Raden Mas A.A. Sosroningrat, bupati Jepara. Meski seorang bangsawan, Kartini sama sekali tak memedulikan kebangsawanannya. Ia menganggap semua orang sederajat dan bersaudara. Tulisannya, "Bagi saya, hanya ada dua macam bangsawan : bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Dalam pikiran saya, tidak ada yang lebih gila dan lebih bodoh dari pada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut 'keturunan bangsawan'."



Usia Kartini tidak panjang, hanya 25 tahun (21 april 1879-17 september 1904). Meski begitu, ia telah menggunakan hidupnya secara bermakna : memerdekakan bangsawan dari jiwa yang tak memuliakan HAM; menumbuhkan bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Todung Mulya Lubis dalam disertasinya (1993:54), menyebut Kartini sebagai sosok yang 'mencerahkan masyarakat Indonesia' dan 'memiliki kontribusi besar dalam membangkitkan wacana HAM'. Begitulah, jati diri Kartini adalah pendekar HAM.

Sebagai pendekar HAM, senjata kartini adalah pena. Maka, kata Kartini, "Rampaslah harta benda saya, asal jangan pena saya". Dengan senjata pena itulah, ia menuliskan surat-surat kepada sahabat-sahabatnya. Ia tuliskan gugatan, pemikiran, dan tindakannya atas lingkungan sosial di sekitarnya yang tidak menghargai dan memuliakan HAM, terutama HAM kaum perempuan.

Sahabat pena Kartini bukanlah orang sembarangann. Mereka adalah Mr. J.H. Abendanon dan Ny. R.M. Abendanon Mandri, seorang Kepala Kementerian Pengajar dan Kerajinan Hindia Belanda; Nona Stella Zeehandelaar, seorang idealis dan feminis, puteri seorang dokter di Belanda; Ir. Henry Hubert van Kol (seorang politikus) dan Ny. J.M.P. van Kol (seorang penulis); Ny. M.C.E. Ovink, istri seorang asisten resident di Jepara; Dr. N. Adriani, seorang ahli bahasa; Ny. H.G. de Booy-Boissevain anak seorang sastrawan dan pemimpin redaksi surat kabar Algemeen Handelsblad; dan Prof. Dr. G.K. Anton, guru besar ilmu kenegaraan di Jena (Jerman)

Bagaimana mungkin seorang Kartini yang tak tamat ELS (Europese Lagere School), yang dipingit di dalam rumah, mampu bersahabat dan berdiskusi dengan orang-orang hebat itu?

Jawabannya, karena Kartini mempunyai jiwa merdeka dan semangat baja. Betapa tidak, selepas umur 12 tahun, ia dipingit. Tidak boleh keluar rumah. Tidak boleh sekolah. Namun, hal itu tidak membuatnya patah semangat. Ia justru sangat giat membaca dan belajar. Belajar sendiri di rumah. Pertama-tama belajar memperdalam bahasa Belanda. Karena, saat itu bahasa Belanda adalah jendela untuk 'melihat' dunia. Dengan bekal penguasaan bahasa Belanda itulah berbagai koran, majalah, dan buku-buku pencerah jiwa dilahapnya.

Ia sedemikian rajin membaca dengan penuh perhatian. Surat kabar de Locomotief adalah makanan sehari-harinya Bahkan ia menullis juga untuk majalah itu.

Tidak hanya itu. Selagi masih sangat muda, ia telah mwmbaca buku-buku pengasah jiwa manusiawi, antara lain buku Max Havelaar, karya Multatuli, De Stille Kraacht karya Louis Coperus, Buku-buku karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya-karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan roman anti perang Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner.
(Adakah kita juga giat membaca buku-buku pengasah jiwa manusiawi seperti dia?)

Jadi, meski bukan seorang yang bersekolah tinggi, Kartini mampu secara cerdas mencerna kenyataan hidup yang dihadapinya. Ia sanggup mengungkapkan pengalaman dan pemikiranya dalam tulisan yang mendalam-menawan. Tulisan yang menginspirasi banyak orang di berbagai belahan dunia, dulu maupun sekarang, untuk menghidupkan budaya HAM.

Bahkan, aktivis HAM internasional Elanor Roosevelt pun menyitir surat Kartini dalam salah satu pidatonya di depan Komisi Hak Asasi Manusia yang dipimpinnya, ketika menyusun The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Enam belas tahun kemudian, dalam kata pengantar sebuah buku, Elanor bersaksi: 'Menurut pendapat saya, makna surat-surat ini tetap penting,seperti waktu ia ditulis' (Symmers, 1964 dalam Keesing, 1999:199),

Tak hanya Elanor, banyak penulis dan cendekiawan tertambat hatinya pada sosok dan pemikiran Kartini. Sastrawan besar, Pramudya Ananta Toer, meulis buku 'Panggil Aku Kartini Saja'; Louise Symmers menulis Letter of a Javanese Princess; Jean Taylor menulis buku Raden Ajeng Kartini, The Complete Story; Joost Cotemenulis buku Letter from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904; Elisabet Keesing menulis Hoe ruim een kooi ook is, leven en lot van Kartini en haar werk. Begitulah, mereka menghidupkan ingatan semua orang mengenai sosok Kartini: seorang pendekar HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar